Aku
pernah menulis tentang bagaimana aku senang mengingat-ingat moment, namun juga
sangat mudah lupa, aku bisa mengingat tanggal berapa kita pertama kali bertukar
sapa, tapi aku akan kesulitan mengingat apa yang pagi tadi aku lakukan setelah
menyapa Bapak penjaga seusai aku memarkir sepedah.
Hari
ini semua berjalan normal hingga menuju senja, namun ada yang tidak biasa di
benakku bahkan sejak hari ini bermula, ketika bangun dari lelap pagi tadi,
hingga aku mengayuh pedal sepedah menuju rumah
saat pulang kerja sore ini, aku merasa sangat gundah.
Sebelum
sampai pada hari ini, sejak aku akrab dengan pedihnya rasa kehilangan dan
merasa patah hati pada kenyataan, urusan tanggal dan waktu bagiku hanya tentang
segala rutinitas yang harus aku mulai sejak matahari bersinar malu-malu di ufuk
timur sana dan berakhir saat senja mulai menyapa. Itu saja.
Namun
hari ini, saat tengah memasukkan barang-barang kedalam tas untuk bersiap
pulang, aku dengan tidak sengaja melihat kalender yang duduk manis di atas
meja, dan tiba-tiba terpaku saat menyadari hari ini tanggal berapa, seisi
ruangan terasa beku, segala hiruk-pikuk terasa menghening, aku duduk bergeming.
Ternyata senja hari ini adalah senja terakhir dibulan November, esok Desember
mulai menyapa, entah apa yang akan dia bawa, namun tiba-tiba aku terkenang dialog-dialog
kita, segalanya menyeruak begitu saja, tentang pedih yang hampir menyentuh 12
purnama.
“Maafkan
aku”, katamu malam itu.
“Untuk?”
“Apapun
yang telah membuatmu lelah menunggu”
Aku
tersenyum, memandang rerumputan basah disekitar kakiku, malam itu adalah
Desember kedua sejak awal pertemuan kita, hujan baru saja usai menyapa, aku
tersenyum bukan karena bahagia, namun sebab aku tidak tahu harus mejawab apa.
Memang perempuan mana yang senang hati menanti tanpa tujuan yang pasti?
“Maaf,
sungguh”, lirihmu. Aku mengangguk lemah, sedikit mengisyaratkan bahwa aku tidak
apa-apa, namun aku berbohong, tentu saja.
“Desember
nanti akan kudatangi ayahmu. Beri aku waktu untuk menyiapkan semuanya”, Katamu yakin.
Aku terpaku sejenak.
“Tak
perlu memaksakan, lagi pula sudah berkali-kali pula kukatakan padamu bahwa aku
terlalu kumuh untuk kamu yang begitu mewah, aku sangat berantakan untukmu yang
menyenangi kerapihan”
“Cukup”,
kamu terlihat kesal saat itu. Aku menunduk.
“Biarkan
Desember nanti yang akan menjawab semuanya, dengan atau tanpa persetujuanmu”,
ucapmu tegas.
“Selama
tidak mengganggu waktumu, silahkan”.
“Justru
kamu sudah begitu mengganggu waktuku sejak awal kita bertemu”
Aku
tersipu.
Kalimat
yang saat itu kamu ucap tiba-tiba membawaku pada ingatan tentang awal
perjumpaan kita pada Desember saat pertama kita bertemu, rupanya didunia ini
banyak sekali kisah yang berawal dari ketidaksengajaan, tentang kita misalnya,
bak cerita-cerita di layar kaca, kamu mengenalku karena tidak sengaja membawa tasku
saat kita sama-sama berada di tempat menunggu, tasku memiliki warna hampir sama
dengan tas yang kamu punya, dan cerobohnya aku menaruhnya tepat disampingmu
ketika aku mencari tempat duduk saat baru saja tiba dari Jogja, namun beruntungnya,
kamu segera menyadari bahwa tas yang kamu bawa bukan milikmu dan segera kembali
untuk menukarnya. Begitulah, hingga akhirnya kamu tahu namaku, dan aku tahu kedatanganmu
ke kotaku adalah untuk mengunjungi makam ibumu yang sebelum meninggal dulu beliau
meminta untuk dimakamkan di kampung halamannya, katamu sudah 5 kali Desember
kamu rutin melakukannya, moment Hari Ibu dan libur akhir tahun adalah
alasannya. Dan kamu semakin mencoba mengenalku saat aku bilang aku memiliki toko
bunga, esok harinya kamu membeli bunga untuk ibumu di tokoku, hingga akhirnya
kamu menjadi pelanggan setia setiap Desembernya.
“Sepertinya
mulai saat ini, selain karena Ibu, alasanku untuk datang ke kota ini adalah
kamu”, Katamu kala itu dan berhasil membuat pipiku memerah malu.
Setelahnya,
kita saling bertukar cerita tentang apa saja, saling mengenal dan bertukar
kabar lewat email atau surat dibulan-bulan lainnya, diam-diam saling menanti
agar Desember segera tiba. Aku begitu bahagia.
***
Sesampainya dirumah sepulang kerja
aku tidak bernafsu melakukan apapun, aku merebahkan diri menatap langit-langit
kamar, mecoba mencari ketenangan dengan caraku sendiri, namun aku gagal ketika
melihat kotak usang diatas lemari pakaian, aku tak bisa membendung air mataku.
Disana tersimpan segala tentang kita, fotomu, surat-surat kita, tiket keretamu
setiap Desember, kunci toko bungaku dulu sebelum aku menutupnya, juga potongan
surat kabar dengan judul “Duka Akhir Tahun: Ratusan Penumpang Tewas dalam Kecelakaan
Kereta Api Suryo Solo”, kereta api yang membawamu menujuku pada Desember 12
purnama yang lalu.
“Aku
rindu kamu, dengan atau tanpa persetujuanmu”. Lirihku dalam sedu.
Cerpen ini telah dicetak dalam buku antologi "December Sun" oleh Penerbit Ellunar pada tahun 2016
Profil Penulis:
Gadis
Indramayu asli yang akrab dipanggil Nita, salah seorang pengurus komunitas
membaca yang bernama “Ngampar Boekoe Indramayu”, moody writer yang hobby
menulis sajak-sajak absurd tentang Rindu, ini merupakan antologinya yang ke 9,
karyanya yang lain bisa dilihat di http://coretansinita.blogspot.com dan
bisa diakrabi di nitabonitarahman@gmail.com