Jumat, 05 Agustus 2022

12 Purnama


Aku pernah menulis tentang bagaimana aku senang mengingat-ingat moment, namun juga sangat mudah lupa, aku bisa mengingat tanggal berapa kita pertama kali bertukar sapa, tapi aku akan kesulitan mengingat apa yang pagi tadi aku lakukan setelah menyapa Bapak penjaga seusai aku memarkir sepedah.

Hari ini semua berjalan normal hingga menuju senja, namun ada yang tidak biasa di benakku bahkan sejak hari ini bermula, ketika bangun dari lelap pagi tadi, hingga aku mengayuh pedal sepedah menuju rumah  saat pulang kerja sore ini, aku merasa sangat gundah.

Sebelum sampai pada hari ini, sejak aku akrab dengan pedihnya rasa kehilangan dan merasa patah hati pada kenyataan, urusan tanggal dan waktu bagiku hanya tentang segala rutinitas yang harus aku mulai sejak matahari bersinar malu-malu di ufuk timur sana dan berakhir saat senja mulai menyapa. Itu saja.

Namun hari ini, saat tengah memasukkan barang-barang kedalam tas untuk bersiap pulang, aku dengan tidak sengaja melihat kalender yang duduk manis di atas meja, dan tiba-tiba terpaku saat menyadari hari ini tanggal berapa, seisi ruangan terasa beku, segala hiruk-pikuk terasa menghening, aku duduk bergeming. Ternyata senja hari ini adalah senja terakhir dibulan November, esok Desember mulai menyapa, entah apa yang akan dia bawa, namun tiba-tiba aku terkenang dialog-dialog kita, segalanya menyeruak begitu saja, tentang pedih yang hampir menyentuh 12 purnama.

“Maafkan aku”, katamu malam itu.

“Untuk?”

“Apapun yang telah membuatmu lelah menunggu”

Aku tersenyum, memandang rerumputan basah disekitar kakiku, malam itu adalah Desember kedua sejak awal pertemuan kita, hujan baru saja usai menyapa, aku tersenyum bukan karena bahagia, namun sebab aku tidak tahu harus mejawab apa. Memang perempuan mana yang senang hati menanti tanpa tujuan yang pasti?

“Maaf, sungguh”, lirihmu. Aku mengangguk lemah, sedikit mengisyaratkan bahwa aku tidak apa-apa, namun aku berbohong, tentu saja.

“Desember nanti akan kudatangi ayahmu. Beri aku waktu untuk menyiapkan semuanya”, Katamu yakin. Aku terpaku sejenak.

“Tak perlu memaksakan, lagi pula sudah berkali-kali pula kukatakan padamu bahwa aku terlalu kumuh untuk kamu yang begitu mewah, aku sangat berantakan untukmu yang menyenangi kerapihan”

“Cukup”, kamu terlihat kesal saat itu. Aku menunduk.

“Biarkan Desember nanti yang akan menjawab semuanya, dengan atau tanpa persetujuanmu”, ucapmu tegas.

“Selama tidak mengganggu waktumu, silahkan”.

“Justru kamu sudah begitu mengganggu waktuku sejak awal kita bertemu”

Aku tersipu.

Kalimat yang saat itu kamu ucap tiba-tiba membawaku pada ingatan tentang awal perjumpaan kita pada Desember saat pertama kita bertemu, rupanya didunia ini banyak sekali kisah yang berawal dari ketidaksengajaan, tentang kita misalnya, bak cerita-cerita di layar kaca, kamu mengenalku karena tidak sengaja membawa tasku saat kita sama-sama berada di tempat menunggu, tasku memiliki warna hampir sama dengan tas yang kamu punya, dan cerobohnya aku menaruhnya tepat disampingmu ketika aku mencari tempat duduk saat baru saja tiba dari Jogja, namun beruntungnya, kamu segera menyadari bahwa tas yang kamu bawa bukan milikmu dan segera kembali untuk menukarnya. Begitulah, hingga akhirnya kamu tahu namaku, dan aku tahu kedatanganmu ke kotaku adalah untuk mengunjungi makam ibumu yang sebelum meninggal dulu beliau meminta untuk dimakamkan di kampung halamannya, katamu sudah 5 kali Desember kamu rutin melakukannya, moment Hari Ibu dan libur akhir tahun adalah alasannya. Dan kamu semakin mencoba mengenalku saat aku bilang aku memiliki toko bunga, esok harinya kamu membeli bunga untuk ibumu di tokoku, hingga akhirnya kamu menjadi pelanggan setia setiap Desembernya.

“Sepertinya mulai saat ini, selain karena Ibu, alasanku untuk datang ke kota ini adalah kamu”, Katamu kala itu dan berhasil membuat pipiku memerah malu.

Setelahnya, kita saling bertukar cerita tentang apa saja, saling mengenal dan bertukar kabar lewat email atau surat dibulan-bulan lainnya, diam-diam saling menanti agar Desember segera tiba. Aku begitu bahagia.

***

            Sesampainya dirumah sepulang kerja aku tidak bernafsu melakukan apapun, aku merebahkan diri menatap langit-langit kamar, mecoba mencari ketenangan dengan caraku sendiri, namun aku gagal ketika melihat kotak usang diatas lemari pakaian, aku tak bisa membendung air mataku. Disana tersimpan segala tentang kita, fotomu, surat-surat kita, tiket keretamu setiap Desember, kunci toko bungaku dulu sebelum aku menutupnya, juga potongan surat kabar dengan judul “Duka Akhir Tahun: Ratusan Penumpang Tewas dalam Kecelakaan Kereta Api Suryo Solo”, kereta api yang membawamu menujuku pada Desember 12 purnama yang lalu.

“Aku rindu kamu, dengan atau tanpa persetujuanmu”. Lirihku dalam sedu.

 


Cerpen ini telah dicetak dalam buku antologi "December Sun" oleh Penerbit Ellunar pada tahun 2016

 

Profil Penulis:

Gadis Indramayu asli yang akrab dipanggil Nita, salah seorang pengurus komunitas membaca yang bernama “Ngampar Boekoe Indramayu”, moody writer yang hobby menulis sajak-sajak absurd tentang Rindu, ini merupakan antologinya yang ke 9, karyanya yang lain bisa dilihat di http://coretansinita.blogspot.com dan bisa diakrabi di nitabonitarahman@gmail.com